Lapadnews.com, Palembang — Sepuluh tahun mengaduk panci dan memanaskan wajan di dapur Hotel Beston, Endang Wahyuni pulang hanya membawa kisah getir tanpa status karyawan tetap, tanpa pesangon, tanpa kompensasi (11/08/2025).
Ketika aturan negara memihak pekerja, perusahaan justru menghindar, dan lembaga yang seharusnya melindungi Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang dipertanyakan tajinya.
Tahun demi tahun kontraknya diperpanjang, namun ketika pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan, Endang pulang dengan tangan kosong.
Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan tegas mengatur bahwa pekerja kontrak (PKWT) berhak atas kompensasi sesuai masa kerja.
Dengan pengabdian selama satu dekade, hak itu seharusnya mutlak menjadi miliknya.
Ironisnya, saat persidangan di Pengadilan Negeri Palembang, pihak Hotel Beston memilih tidak hadir. Situasi ini memicu langkah hukum Endang bersama kuasa hukumnya untuk melapor ke Komisi IV DPRD Kota Palembang.
Rapat dengar pendapat digelar (11/8/2025) dipimpin langsung Ketua Komisi IV, Budi Mulya, SH., MM.
“Pada intinya, Endang hanya menuntut haknya yang sah sebagai karyawan yang sudah mengabdi 10 tahun. Tidak lebih,” tegas politisi Gerindra itu.
Budi Mulya menegaskan, Hotel Beston sebagai pelaku usaha di Palembang tidak bisa mengabaikan aturan main.
Terlebih, Disnaker Kota Palembang sudah mengeluarkan anjuran agar perusahaan memenuhi kewajiban kompensasi sesuai ketentuan.
“Kalau sudah ada anjuran Disnaker, itu artinya jelas tinggal dilaksanakan,” katanya.
Namun, justru di sinilah publik mulai bertanya: sejauh mana Disnaker Palembang tegas mengeksekusi aturan? Apakah mereka benar-benar menjadi garda depan melindungi pekerja, atau sekadar memberi anjuran tanpa taring? Dugaan “masuk angin” pun menggelayuti pikiran banyak pihak.
Meski dipanggil resmi DPRD, manajemen Hotel Beston hanya mengirim perwakilan HRD, bukan pimpinan tertinggi.
Langkah ini dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk ketidakseriusan perusahaan menyelesaikan persoalan.
Kasus Endang Wahyuni kini menjadi cermin buram penegakan hukum ketenagakerjaan di Palembang.
Apakah Undang-Undang Cipta Kerja benar-benar menjadi pelindung pekerja, atau masih memberi ruang bagi perusahaan untuk lolos dari kewajibannya?
Bagi Endang, perjuangan ini belum usai. Dari panasnya dapur hotel hingga dinginnya ruang sidang dan meja dewan, ia tetap berpegang pada satu hal: hak pekerja tidak boleh ditawar.
Di balik gemerlap lampu lobi dan kilau bintang empat, ada cerita getir yang tak boleh disembunyikan.
Kasus Endang Wahyuni bukan sekadar sengketa pesangon ini adalah ujian moral bagi perusahaan, cambuk bagi Disnaker, dan alarm keras bagi para pekerja di Palembang: jika satu dekade pengabdian bisa dihapus begitu saja, siapa yang bisa merasa aman besok?
“Sepuluh tahun mengabdi, dibayar dengan diam. Hari ini Endang melawan besok bisa giliran siapa pun.” ungkap pewarta
(*Hardi)
Social Header