Lapadnews.com, Mandailing Natal - Alam Mandailing, khususnya daerah Eresis, dikenal kaya dengan hasil alamnya, salah satunya adalah durian varian Tarutung Si Sere.
Durian ini merupakan kekayaan alam yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Mandailing. Meski tanpa adanya penanaman atau budidaya yang intens, musim Tarutung Si Sere selalu dinanti.
Namun, keberadaannya seringkali menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan oleh banyak pihak, terutama warga yang tidak memiliki akses langsung terhadap pohon durian tersebut.
Musim durian yang datang setiap tahun ini memberi peluang bagi sebagian warga untuk meraup keuntungan.
Durian-durian yang tumbuh di kawasan tak bertuan atau "topak di arangan" ini biasanya dimanfaatkan oleh mereka yang berani mengelola hasil alam tersebut, meski lokasi tersebut bukan milik pribadi.
Namun, kekayaan alam yang ada terkadang hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja, sementara warga sekitar hanya bisa berharap menikmati hasilnya, yang sering kali jauh dari harapan.
![]() |
Foto Tarutung Si Sere, Pekan Raya Durian Tambangan. (foto: akhir matondang/beritahuta.com) |
Misalnya, beberapa warga yang berharap bisa menikmati Tarutung Si Sere sering kali harus puas dengan varian durian lain yang kualitasnya jauh berbeda, seperti Tarutung sirepes atau sidingkil, yang dikenal memiliki banyak biji dan daging yang tipis.
Walaupun warga sudah rela mengeluarkan tenaga dan biaya untuk mencapai lokasi, mereka hanya bisa membawa pulang durian dengan sedikit daging, bahkan kadang hanya sekitar 100 hingga 200 mg saja. Ironisnya, harapan mereka untuk mencicipi durian istimewa sering kali berakhir dengan kekecewaan.
Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam distribusi hasil alam yang melimpah ini.
Para pengelola atau pemanen Tarutung Si Sere yang mengelola pohon durian di kawasan yang tidak bisa dimiliki secara pribadi, kadang lebih memprioritaskan keuntungan pribadi, bahkan mengabaikan permintaan warga yang ingin menikmati hasil alam tersebut.
Selain itu, penguasa atau pihak yang seharusnya mengelola sumber daya alam ini terkadang malah tidak memikirkan kesejahteraan masyarakat.
Banyak pihak yang justru menikmati keuntungan dari musim Tarutung tanpa memperhatikan keadilan bagi warga sekitar.
Pemandangan lain yang tak kalah menarik adalah cara panen durian yang menggunakan alat berat (beco), yang kadang merusak pohon-pohon durian tersebut.
![]() |
Peta Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara (doc.sultansinindonesieblog) |
Meski menghasilkan durian dengan kualitas yang bagus, cara panen seperti ini meninggalkan kesan bahwa hasil alam ini lebih berfokus pada keuntungan semata, bukan untuk kesejahteraan bersama.
Hasil Tarutung yang melimpah, seharusnya bisa lebih merata dinikmati oleh seluruh warga jika dikelola dengan cara yang adil, misalnya melalui sistem yang melibatkan semua pihak dan mengembalikan sebagian dari hasilnya untuk membangun infrastruktur atau program sosial lainnya.
Namun kenyataannya, ketidakadilan dalam musim Tarutung Si Sere ini seringkali menimbulkan ketegangan antara warga.
![]() |
Peta Mandailing (doc.daerah.sindonews.com) |
Tidak jarang hubungan persaudaraan yang telah terjalin bertahun-tahun menjadi renggang hanya karena perbedaan dalam menikmati hasil alam yang ada.
Ketika musim Tarutung berakhir, barulah mereka sadar bahwa segala hiruk-pikuk yang terjadi hanya sebatas musim yang datang dan pergi.
Jika pengelolaan Tarutung Si Sere bisa lebih tertata dan melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak, tentu hasil kekayaan alam ini bisa dirasakan oleh lebih banyak orang.
Sebagai contoh, jika penguasa daerah lebih terlibat dalam pengelolaan, maka hasilnya bisa digunakan untuk pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Namun, jika dibiarkan seperti ini, yang menikmati hasilnya tetap hanya segelintir orang yang berani mengambil keuntungan dari musim Tarutung tersebut.
Musim Tarutung Si Sere, meskipun menyimpan banyak potensi, tetap menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh penguasa dan masyarakat agar hasil alam ini bisa dirasakan secara lebih adil.
Penulis (*Magrifatulloh)
Social Header